Faedah lainnya dari surat Asy-Syarh, setelah selesai dari ibadah atau shalat, diperintahkan untuk berdoa dan terus berusaha menjaga niatan ikhlas karena Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ (7) وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ (8)
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada Rabbmulah hendaknya kamu berharap.” (QS. Alam Nasyrah: 1-8)
Ibnu Katsir berkata, “Jika engkau telah selesai dari urusan dan kesibukan duniamu, maka lakukanlah ibadah. Semangatlah melakukan yang penting. Murnikanlah niatan dan harapanmu pada Rabbmu.”
Dua hadits ini adalah contoh diperintahkan kita bisa konsen dalam ibadah.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ
“Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi yang menahan akhbatsan (kencing atau buang air besar).” (HR. Muslim no. 560).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ وَحَضَرَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ
“Jika shalat telah ditegakkan dan makanan sudah siap tersajikan, maka dahulukanlah makan malam.” (HR. Bukhari no. 5465)
Mujahid berkata tentang ayat ini, “Jika engkau telah selesai dari urusan duniamu, kerjakanlah shalat, hadaplah Rabbmu.”
Ada juga riwayat dari Mujahid, “Jika engkau telah selesai shalat, tunaikanlah hajat-hajatmu.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Jika engkau telah menunaikan shalat fardhu, tunaikanlah shalat malam.” Dari Ibnu ‘Iyadh berpendapat seperti itu pula.
‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
{ فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ } يعني: فِي الدُّعَاءِ
“Jika engkau telah selesai (dari shalat atau ibadah, pen.), maka berdo’alah.” Ini jadi dalil sebagian ulama dibolehkan berdoa setelah shalat fardhu.
Ada dalil lain yang lebih spesifik,
جاء رجلٌ إلى النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – ، فقال : أيُّ الصلاة أفضل ؟ قال : (( جوفُ الليل الأوسط )) ، قال : أيُّ الدُّعاء أسمع ؟ قال: (( دُبر المكتوبات ))
“Ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya, “Shalat apa yang paling afdhal?” “Shalat di tengah malam”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ditanya kembali, “Doa apa yang paling didengar?” “Doa di dubur shalat wajib (yaitu di akhir shalat wajib, pen.).” (HR. Ibnu Abi Ad-Dunya, Jami’ ‘Ulum wa Al-Hikam, 1: 143-144)
Doa berikut dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dubur shalat,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
“Allahumma inni a’udzu bika minal jubni, wa a’udzu bika an arudda ila ardzalil ‘umuri, wa a’udzu bika min fitnatit dunyaa wa a’udzu bika min ‘adzabil qabri [artinya: Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari sikap pengecut di medan perang, dari jeleknya keadaan di masa tua, dari godaan dunia yang menggiurkan dan dari siksa kubur].” (HR. Bukhari no. 2822)
Makna dubur shalat di sini ada beda pendapat di kalangan para ulama. Ada yang mengartikan di akhir shalat sebelum salam. Dan ada pula yang mengartikan setelah shalat. Ini berarti menurut sebagian ulama ada tuntunan berdoa setelah selesai shalat berdasarkan pemahaman ini. Wallahu a’lam bish shawwab.
Perintah untuk Ikhlas
Zaid bin Aslam dan Adh-Dhahak berkata, jika engkau telah selesai dari jihad, maka beribadahlah pada Allah.
وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
“kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada Rabbmulah hendaknya kamu berharap.” Maksud ayat ini kata Ats-Tsauri, “Jadikanlah niat dan harapanmu hanya untuk Allah.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7: 599)
Ini berarti harapan dan niatankan kita dalam ibadah hanya untuk Allah, bukan selainnya.
Faedah dari Ayat
Syaikh Abu Bakr Jabir Al-Jazairi berkata, “Kehidupan seorang mukmin tidaklah diisi dengan kebatilan maupun permainan yang melalaikan dari ibadah. Setiap kali ibadah, pasti ada kegiatan bermanfaat lainnya, terus seperti itu.” (Aysar At-Tafasir, hlm. 1482)
Referensi:
Al-Mukhtashar fii At-Tafsir. Penerbit Muassasah Syaikh ‘Abdullah bin Zaid bin Ghanim Al-Khairiyyah.
Aysar At-Tafasir li Kalam Al-‘Aliyyil Kabir. Cetakan pertama, tahun 1419 H. Syaikh Abu Bakr Jabir Al-Jazairi. Penerbit Maktabah Adhwa’ Al-Manar.
Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Syaikh Abu Ishaq Al-Huwainiy. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
—
Selesai disusun siang hari, 17 Muharram 1437 H @ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Ikuti update artikel Rumaysho.Com di Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat (sudah 3,6 juta fans), Facebook Muhammad Abduh Tuasikal, Twitter @RumayshoCom, Instagram RumayshoCom
Untuk bertanya pada Ustadz, cukup tulis pertanyaan di kolom komentar. Jika ada kesempatan, beliau akan jawab.